Sebagai lembaga yang menaungi para ulama, zuama, dan cendekiawan Islam, penting bagi setiap trader untuk mengetahui fatwa terkait hukum trading menurut MUI. Hal ini berfungsi sebagai pedoman atau panduan bagi umat muslim agar tidak melanggar syariat Islam.

Sebab, banyak pendapat yang mempertanyakan terkait status haram halalnya aktivitas trading menurut Islam. Apalagi, terdapat kemungkinan risiko terjadinya riba, gambling (judi), ataupun aktivitas lainnya yang tidak sesuai syariat di dalam kegiatan trading ini.

Selain mengetahui hukum trading menurut MUI, penting pula untuk mengetahui hukumnya berdasarkan pendapat ulama secara umum. Sebab sebagai instrumen yang sifatnya luas, penafsiran terhadap trading tentu dapat berbeda antar satu ulama dengan yang lainnya.

Sekilas Tentang Trading Dalam Agama Islam

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya berbagai risiko tersebut, fatwa resmi maupun pendapat dari anggota MUI bisa dijadikan sebagai pegangan. Dengan demikian, Anda bisa melakukan kegiatan trading syariah tanpa khawatir melanggar aturan tertentu dalam agama.

Untuk mengetahui hukumnya menurut agama, Anda perlu mengetahui definisinya terlebih dahulu. Secara sederhana, trading adalah segala kegiatan jual beli aset berharga seperti emas, saham di bursa efek, valuta asing (mata uang asing), hingga mata uang digital (kripto).

Sebelum membahas secara lebih spesifik terkait hukum trading menurut MUI, secara umum prinsip trading sebenarnya sudah dilaksanakan sejak zaman Rasullah dahulu. Contohnya yaitu kegiatan jual beli emas atau perak di masa Rasulullah yang dilakukan secara tunai/kontan.

Berbeda dengan jual beli aset berharga di masa dahulu, kegiatan trading modern di masa kini bisa dilakukan secara digital alias bersifat nonfisik. Praktik perdagangan digital inilah yang sering diperdebatkan statusnya, apakah bisa dikategorikan sebagai transaksi tunai atau tidak.

Sebab menurut sebagian besar ahli agama, terdapat beberapa prinsip dasar transaksi jual beli menurut Islam yang harus terpenuhi dalam aktivitas trading. Selain pembayaran secara kontan, prinsip dasar lainnya adalah sebagai berikut:

  1. Instrumen jual beli yang diperdagangkan bukan termasuk hal bersifat haram dan tidak mengarah pada judi.
  2. Transaksinya tidak mengandung unsur riba (misalnya melalui penetapan bunga).
  3. Jika bergerak di bidang memperjualbelikan saham, maka saham dari perusahaan yang diperdagangkan tidak boleh bergerak dalam produk atau jasa bersifat haram.
  4. Pembayaran dilakukan secara kontan/tunai.
  5. Tidak boleh terdapat unsur gharar (spekulasi), penipuan (ghisysy), dan upaya mempengaruhi atau membohongi (taghrir).

Namun secara umum, hukum jual beli secara online dalam Islam adalah halal dan boleh selagi produknya memang ada, transaksi pembayaran jelas, serta tidak ada unsur penipuan dan riba. Sehingga, mayoritas ahli agama berpendapat bahwa trading dalam Islam berstatus mubah.

Pendapat Beberapa Ulama Terkait Hukum Trading

Sebagaimana penjelasan di atas, sebagian besar ahli berpendapat prinsip trading sama halnya dengan melakukan jual beli emas perak di masa Rasulullah. Sebelum mengetahui hukum trading menurut MUI, pendapat beberapa ulama ini bisa dijadikan sebagai pertimbangan.

  1. Ibnu Mundzir

Pendapat pertama adalah dari Ibnu Mundzir, salah satu murid dari imam terkenal, Imam Syafi’i. Beliau pernah membuat analogi terkait trading dalam Islam, di mana baginya, aktivitas ini serupa dengan sharf (pertukaran emas atau perak) dalam fikih.

Itu artinya, nilai mata uang dapat diperjualbelikan oleh trader dengan syarat dan ketentuan tertentu. Salah satu ketentuannya yaitu dengan cara menyetarakan nilai mata uang yang dibeli secara tunai (kontan) atau biasa disebut dengan istilah taqabudh fi’li.

  1. Ibnu Qudamah

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi merupakan seorang imam sekaligus ahli fikih dan zuhud yang kitab hasil karyanya menjadi standar bagi mazhab Imam Hambali. Menurut kajian dari Ibnu Qudamah, aktivitas trading harus memperhatikan proses kontan atau tunai secara langsung.

Hal ini sesuai dengan salah satu ketentuan dalam fatwa terkait hukum trading menurut MUI yang menyebutkan bahwa transaksi mata uang (al-sharf) harus dilakukan secara tunai (al-taqabudh). Ini menunjukkan bahwa pembayaran adalah aspek penting dalam trading.

Namun di masa kini, transaksi trading maupun berbagai kegiatan jual beli lainnya sudah marak beralih menggunakan konsep digital tanpa uang tunai. Tetapi, Dewan Syariah MUI telah menerbitkan fatwa bahwa uang elektronik adalah boleh selama memenuhi aturan syariah.

Fatwa dan Hukum Trading Menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia**)**

Berdasarkan pendapat kedua ulama tersebut, dapat diketahui bahwa jual beli aset dalam bentuk trading secara umum adalah boleh. Pada zaman dahulu, belum dikenal adanya transaksi online (non tunai), sehingga diwajibkan untuk melakukan pembayaran kontan.

Hukum trading menurut MUI bisa dilihat berdasarkan fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Fatwa tersebut bisa dibedakan berdasarkan jenis aset atau instrumen tradingnya, yaitu meliputi keempat aset sebagai berikut:

  1. Jual beli mata uang asing telah diatur hukumnya oleh MUI berdasarkan fatwa No.28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-sharf). Hukumnya adalah mubah (boleh), dengan syarat tidak dilakukan untuk spekulasi, untuk berjaga-jaga (sebagai simpanan), harus setara, terdapat kurs (nilai tukar), dan bersifat tunai (al-taqabudh).
  2. Perdagangan emas di dalam hukum trading menurut MUI telah diatur dalam fatwa No.77/DSN-MUI/V/2010 terkait jual beli emas secara digital. Adapun hukumnya adalah mubah atau ja’iz dengan ketentuan emas tidak dijadikan sebagai alat tukar resmi (uang) serta beberapa syarat lainnya berdasarkan syariah.
  3. Jual beli saham di bursa efek telah diatur hukumnya pada beberapa fatwa, salah satu di antaranya yaitu fatwa No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang penerapan prinsip syariah pada mekanisme perdagangan efek bersifat ekuitas di pasar reguler bursa efek. Fatwa tersebut mengatur terkait jenis transaksi mana saja yang boleh dan tidak boleh menurut syariah,
  4. Perdagangan mata uang digital (cryptocurrency) dalam hukum trading menurut MUI sebenarnya belum diatur secara spesifik melalui fatwa tertentu. Sejauh ini, fatwa MUI hanya menyebutkan bahwa status kripto sebagai mata uang adalah haram. Namun, pendapat ulama secara umum menyatakan bahwa hukumnya adalah mubah jika digunakan sebagai komoditas jual beli sebagaimana perdagangan mata uang (al-sharf).

Penyebab Trading Berubah Hukum Menjadi Haram Menurut Ulama

Berdasarkan berbagai fatwa dan pendapat terkait hukum trading menurut MUI tersebut, dapat diketahui bahwa secara umum statusnya adalah mubah (boleh). Namun, hukum mubah ini bisa berubah menjadi haram apabila dalam praktiknya terjadi hal-hal sebagai berikut:

  1. Transaksi jual belinya mengandung permintaan ataupun penawaran bersifat palsu (menipu).
  2. Transaksinya tidak dibarengi oleh penyerahan barang atau jasa, baik itu berupa produk bersifat fisik maupun nonfisik (digital).
  3. Transaksinya mengandung unsur suap dalam tujuan apapun itu.
  4. Transaksi jual belinya dilakukan terhadap barang yang tidak atau belum dimiliki oleh pihak penjual.
  5. Transaksinya mengandung unsur spekulasi (untung-untungan), penipuan, dan lain-lain yang dilarang oleh syariat.

Selain itu, suatu jenis trading juga bisa berubah hukumnya menjadi haram apabila produk atau jasa yang diperjualbelikan mengandung unsur haram. Contohnya yaitu jual beli saham dari suatu bisnis atau perusahaan tertentu yang bergerak di bidang berkategori haram.

Untuk menghindari terjadinya hal-hal tersebut, Anda harus mengetahui secara lebih rinci terkait instrumen maupun platform tradingnya sebelum bertransaksi. Jangan lupa pula untuk mempelajari hukum trading menurut MUI secara lengkap berdasarkan fatwanya.